PERJUANGAN MAMA HASRIA DEMI MENYUPLAI KEBUTUHAN AIR MINUM


(Foto dan teks oleh Indra Abriyanto)
"Saya lebih memilih air yang dijual Hasria dibanding harus membeli air galon isi ulang, airnya tidak berbau dan di tenggorokan pun sangat nikmat," tutur salah satu pelanggan tetap Hasria. 
Mauwa (46) adalah satu dari dari pengambil air di Sungai Mandar (Passau).  Perempuan yang mempunyai sapaan akrab mama Hasria ini, tak punya pilihan lagi selain mengambil air. Ia hanya menyandarkan perekonomiannya lewat itu saja. Profesi  yang tidak menggunakan modal sepeser pun. Air yang diambil secara gratis itu, akan digunakan untuk keperluan minum beberapa pelanggannya.

Air minum merupakan hal pokok bagi proses kelangsungan hidup manusia. Separuh dari manusia memiliki sekitar 60%-70% cairan dari berat badan tubuhnya. Oleh kerena itu air merupakan elemen terpenting bagi manusia. Tanpa air, tubuh akan mengalami dehidrasi. Ini disebabkan karena cairan yang keluar dari dalam tubuh lebih banyak dibanding cairan yang masuk, akibat olahraga berlebihan atupun karena sakit.

Di samping sebagai air minum  air juga berfungsi sebagai penunjang kinerja bagi kelangsungan hidup manusia, misalnya untuk pertanian, keperluan ternak, dan sebagai sumber energi listrik dan lain sebagainya. Di Daerah Polewali Mandar, Kecamatan Tinambung, Ibu Hasria dan beberapa orang berprofesi sebagai pengambil air bersih di Sungai Mandar. Sebuah usaha menyediakan air bersih, juga sebagai usaha untuk menghasilkan pundi-pundi uang¬¬.

Biasanya, seusai sholat subuh, ibu 4 orang anak ini setiap hari harus berjibaku dengan jeriken. Ia tidak sendiri. Ibu Hasria dibantu sang suami, Wahab (51), yang lebih dulu berangkat dari rumah ke tempat penampungan jerikennya, menggunakan motor tua yang dimodifikasi dengan gerobak. Seperti biasanya, Wahab menyusun 200 jeriken dari Desa Kandeapi untuk dibawa menuju tempat persinggahan sementara di Desa Leko Pakdis.

Hasria menyusul dengan sepeda berwana pinknya menuju tempat persinggahan sementara. Setibanya, Hasria bergegas membawa jeriken-jeriken itu ke tempat ia mengambil air dengan cara dipikul. Disebrang sana, teman seprofesi sudah tiba mendahului Hasria sejak pukul 03.00 WITA dini hari. Hasria saling bersaut-sautan dengan temannya sembari terus berjalan.

Secara manual, menggunakan perlaatan sederhana, pukul 07.30 WITA Hasria menancapkan ember yang bawahnya dibolongi, ke pasir. Air yang keluar dari dalam itu yang di ambil, serta timba dan saringan untuk mengubah air menjadi bersih. Lalu mengisi jeriken kosong yang ia bawa. Hasria pun rela duduk berjam-jam untuk mengisinya. 

Ia menyudahi aktivitasnya mengambil air, lalu mengikat jeriken-jeriken itu menjadi rangkaian yang menyerupai kaki seribu. Tak lupa ia menyisahkan 3 jeriken kosong untuk dipakainya mengapung. Pukul 13.00 WITA, berangkat menyusuri sungai bersama temannya, sepanjang 4 kilometer Hasria mengapungkan dirinya bersama jeriken. Ini adalah cara mudah untuk membawa 200 jeriken tersebut, dibanding harus membawanya kembali melalui jalur darat.

Menuju tempat awal jeriken diambil, tak ada rasa takut yang terpancar dari raut wajahnya. Seakan memahami betul deras arus sungai yang ia lalui, deras arus sungai itu sudah seperti kerabat baginya, dan tak perlu dirisaukan. Padahal ia sedang bertaruh nyawa.

Sampai di tujuan, Hasria menyusun kembali jeriken tersebut dan ditutupi terpal agar tidak kotor saat hendak dijual. Ia  merampungkan niatnya menuju rumah, sembari mengecas diri untuk beberapa jam ke depan. Pukul  15.30 WITA, Hasria bersiap menjual air bersihnya ke warga di Kecamatan Tinambung. Ditemani putri pertamanya, mereka berdua membawa gerobak menuju Desa Kandeapi untuk mengambil 40 jeriken per satu gerobak.

Hasria dan putrinya bergerak menjajakan air bersih ke beberapa langganan yang tak jarang sudah memesan sehari sebelumnya, melalaui telefon genggam. Beberapa pelanggan bahkan membeli 40 jeriken sekaligus. Sebuah kewajaran jika Hasria dan putrinya harus beberapa kali kembali menuju tempat penampungan untuk mengisi gerobaknya hingga penuh. Lewat jasanya, warga sekitar bisa menikmati air bersih itu dengan merogoh kocek Rp.600 per jeriken.

Hingga senja menutup mata, Hasria dan putrinya kembali ke rumah melepas penat sambil berbaur bersama keluarga kecilnya. Biasanya dengan menonton sinetron kesukaannya, Dunia Terbalik.





















Komentar

Bentrok RKUHP